Data Komnas HAM: Dari 6.000 Kasus Pelanggaran HAM, 1.000 Dilakukan Psh Perkebunan

Kasus Mesuji Puncak Gunung Es Konflik Agraria
Jum'at, 16 Desember 2011 , 10:15:00 WIB

RMOL. Korban jiwa yang berjatuhan dalam konflik agraria sebenarnya bukan hal baru. Untuk tahun 2011, sudah ada 18 petani tewas akibat 120 kasus konflik agraria.

Dan data Komnas HAM menyebutkan, dari 6000 kasus pelanggaran yang terjadi tiap tahunnya, sekitar 1000 kasus pelanggaran HAM dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan begitu banyak masalah konflik agraria antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat yang belum juga terselesaikan sejak masa Orde Baru sampai sekarang.

Kemudian Henry menilai, secara prinsip konflik perkebunan kerap terjadi karena UU Perkebunan 18/2004 terlalu berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan hak-hak masyarakat.

"UU Perkebunan 18 tahun 2004 memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. UU memberi ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan, baik swasta maupun pemerintah, untuk terus melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani," urai Henry.

Misalnya, Pasal 20 UU itu jelas memperbolehkan perusahaan perkebunan melakukan pengamanan berkoordinasi dengan aparat keamanan dan masyarakat setempat. Pasal tersebut kemudian digunakan oleh perusahaan perkebunan untuk membentuk tim pengamanan khusus atau yang lebih dikenal dengan sebutan "pam swakarsa" yang didukung oleh aparat keamanan. Tindakan-tindakan seperti intimidasi, penggusuran paksa, penganiayaan bahkan tindakan yang dapat menyebabkan kematian sering dilakukan oleh pam swakarsa terhadap masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan dengan didukung aparat yang berwenang.

"Kasus Mesuji ini merupakan puncak gunung es dari pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di negeri ini. Masih banyak kasus-kasus konflik agraria di negeri ini yang belum terangkat ke permukaan," tambah Henry.

Melihat dampak konflik di Mesuji Sumatera Selatan dan Lampung, SPI menuntut DPR segera membentuk Panitia Khusus guna menyelidiki dan mencari fakta yang ada di lapangan. Selain itu pengkajian ulang tentang penempatan anggota kepolisian di wilayah perkebunan secara menyeluruh dan menyidik serta mengadili mereka yang terlibat dalam Peristiwa Mesuji.

"Segera cabut perizinan PT. Silva Inhutani dan SWA serta perusahaan-perusahaan perkebunan lainnya yang terlibat karena dengan nyata telah melakukan tindakan kriminal terhadap para petani dan menimbulkan korban jiwa," serunya.

Yang penting, tandasnya, pemerintah mau mencabut UU Perkebunan 18/2004 yang menjadi sumber konflik agraria dan melaksanakan reforma agraria yang pernah dijanjikan oleh pemerintahan SBY melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Pokok Agraria 5/1960
http://www.rakyatmerdekaonline.com/r...nflik-Agraria-


Soal Mesuji, Pemerintah Diminta Periksa Investor Malaysia
Jum'at, 16 Des 2011

TEMPO Interaktif, Jakarta -- Pemerintah didesak untuk memeriksa para pengusaha Malaysia yang dinilai semena-mena mengamankan investasinya. Selain perusahaan Sawit di Mesuji, investor Malaysia di bidang sawit juga melakukan pembantaian orang utan di Kalimantan Timur. "Investor-investor Malaysia tersebut harus diperiksa," kata Neta S. Pane, Ketua Presidium Indonesian Police Watch kepada Tempo, Kamis, 15 Desember 2011.

Desakan untuk "menertibkan" pengusaha sawit Malaysia adalah satu dari tiga rekomendasi yang dimintakan IPW. Ketiga poin masalah yang disoroti IPW ini layak dicermati untuk melihat kasus Mesuji yang cenderung terbiarkan sejak bulan April 2011 ini. "IPW berharap, pemerintah bersikap tegas dan tuntas menyelesaikan kasus ini," kata Neta S. Pane lagi.

Tiga rekomendasi tersebut, menurut Neta. adalah pertama, Kepala Polda Lampung harus menjalani periksaan Komisi Nasional HAM mengenai kemungkinan keteribatan polisi atau terjadinya pembiaran dalam kasus Mesuji ini. Kedua, pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap pengusaha Malaysia yang berinvenstasi di Indonesia, khususnya di sektor perkebunan kelapa sawit.

Ketiga, kasus Mesuji, menurut Neta, juga harus dijaga sehingga terhindar dari unsur politik. Ia menyatakan, kasus Mesuji dapat dipolitisasi dan dijadikan momentum untuk mengalihkan isu atau menutup kasus-kasus besar, seperti Bank Century, skandal asmara di KPK, kasus Nazaruddin, kasus Depnaker, dan lainnya.

Kasus pembantaian di Mesuji, Lampung, menurut Neta, sudah lama terjadi dan tidak ada yang peduli. Masyarakyat Mesuji dan LSM sudah teriak dan protes, tapi juga tidak ada yang menanggapi. Sebelumnya, pernah terjadi sengketa lahan antara warga dan perusahaan kelapa sawit, PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) di Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Mesuji. Warga menduga izin hak guna usaha dan hak guna bangunan milik PT BSMI palsu.

Peristiwa ini disampaikan masyarakat Lampung di hadapan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Terjadi awal tahun 2011 seperti yang disampaikan oleh Masyarakat Lampung di hadapan Komisi III DPR RI kemarin.
http://id.berita.yahoo.com/soal-mesu...003038023.html

------------

Dari zaman Deandles dulu, yang memerintahkan rakyat membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan demi memperlancar arus transportasi industri gulanya untuk di export (pada zaman itu, Jawa adalah penghasil gula terbesar di dunia, dan Belanda memperoleh kekayaan luar biasa dari industri gula di pulau Jawa pada saat itu. Semenetara rakyat Indonesia, tetap saja miskin-melarat waktu itu). Lalu datang zaman Van den Bosch yang memerintah Jawa dengan melakukan kebijakan ekonomiyang dikenal sebagai sistem Tanam Paksa sehingga menyebabkan Perang Jawa terbesar sepanjang abad 19 (Perang Dipenogero); Lalu zaman Jepang datang, ada sistem kerja rodi saat itu, yang juga memaksa rakyat untuk menghasilkan makanan dan komoditi untuk industri perang bagi keperluan tentara Dai Nippon.

Lalu kita merdeka tahun 1945 dulu. Tetapi ternyata setelah merdeka, di zaman Reformasi seperti sekarang ini, konflik yang berkaitan dengan bisnis perkebunan antara pemodal besar yang menjadi pemilik kebun dan rakyat sekitar perkebunan (hanya kali ini komoditinya bukan tebu, teh, kopi, beras dan rempah-rempah seperti zaman penjajahan dulu, tetapi sekarang adalah kelapa sawit), ternyata tetap saja terjadi kembali akibat ketidak-adilan. Korban nyawa dan penderitaan rakyat petani tetap saja terjadi. Hanya saja kalau dulu Tuan Perkebunannya adalah Meneer dari Holland, kini ganti dari Meneer dari Malaysia atau Pengusaha pribumi keturunan. Tapi hakekatnya sama saja, hadirnya kapitalisme global yang bertujuan menghasilkan komoditi expor paling mahal di dunia (dulu gula, sekarang minyak sawit), dengan cara menekan biaya produksi serendah-rendahnya dengan cara memperoleh lahan yang murah dari penduduk dan membayar tenaganya dengan sangat murah sebagai buruh perkebunan. Sehingga mau tak mau berbagai bentuk penindasan bak kekejaman terhadap budak di aba 18-19 dulu, masih saja berlangsung. Begitu pula ekploitasi kekayaan alam ibu Pertiwi dan manusianya yang tinggal di pulau-pulau itu. Separuh lahan sawit di tanah air saat ini dimiliki asing, khususnya pengusaha dari Malaysia. Sisanya oleh pengusaha pribumi seperti Sinar Mas Grup itu. Dan anda pasti tahu, siapa pemilihk Sinar Mas itu!

Djendral.Bokir 17 Dec, 2011