IPW : Slogan Polisi Mengayomi dan Melindungi Rakyat Omong Kosong

IPW : Slogan Polisi Mengayomi dan Melindungi Rakyat Omong Kosong, Reformasi Polri Gagal Total

Jakarta, Seruu.com - Belum usai kasus tragedi Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan, Polri kembali mendapat cibiran. Kali ini, korps seragam coklat disorot atas peristiwa bentrokan yang menewaskan dua orang di Bima, NTB. Meski kepolisian telah menetapkan 47 tersangka pasca-pembubaran demonstrasi massa dari Front Rakyat Anti-Tambang yang menduduki Pelabuhan Sape, Kec Lambu, Bima, NTB pada Sabtu (24/12), tapi itu tak menjamin rakyat dapat hidup tenang berdampingan dengan polisi.

"Pasalnya seluruh tersangka adalah warga yang justru sebenarnya adalah korban dan saat itu sedang berupaya menuntut haknya dan seharusnya mendapat perlindungan hukum dari negara," tutur Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane saat dihubungi, Senin (26/12).

"Berbagai tragedi-- mulai dari peluru nyasar, penembakan warga sipil tanpa alasan jelas--menjadikan slogan 'Mengayomi dan Melindungi Masyarakat' hanyalah omong kosong yang tidak bisa dibuktikan," imbuhnya.

Desakan agar pemerintah mengganti Kapolri yang saat ini dijabat oleh Jenderal Timur Pradopo pun menguat.

"Presiden harus segera melakukan evaluasi, kalau perlu Kapolri nya diganti. Ketidaktegasan pemerintah secara langsung mengindikasikan pemerintah tak pernah pro-rakyat. Dan saya tidak habis pikir mengapa presiden SBY tak mau belajar dari pengalamannya untuk segera meredisposisi dan restrukturisasi Polri. Atau barangkali ada keuntungan lain bagi pemerintah sekarang ini bila Polri di bawah langsung presiden," ungkapnya.

Menurutnya, sumber pemicu 'perang' POlri dan warga juga karena keberpihakan pemerintah pusat dan daerah yang membabi buta kepada pengusaha.

Hal senada diungkapkan, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)."Tindakan aparat kepolisian di Sape, Bima, di luar batas kewenangannya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat," katanya Senin (26/12).

Ditegaskan Dyah, profesionalitas dan independensi Kepolisian Republik Indonesia kembali dipertanyakan. Menurut data yang didapat Elsam, pada 24 Desember 2011, aparat Kepolisian Resort Bima dan Brimob Polda NTB melakukan penembakan dan kekerasan terhadap warga masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT), yang memblokade pelabuhan Sape.

Warga masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN), yang dianggapnya akan merusak dan membahayakan lingkungan dan mata pencaharian masyarakat.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan sebaliknya polisi bertindak karena pendudukan fasilitas publik telah mengganggu kepentingan masyarakat lain.

Polri juga tidak berurusan dengan masalah pertambangan, karena urusan pertambangan adalah urusan antara pemda dan masyarakat. Jika ada masalah seharusnya diselesaikan sesuai mekanisme.

Menurut Elsam dalam peristiwa di Bima ini, aparat kepolisian ibarat benalu yang tumbuh bersama-sama dengan tumbuhan, yang akhirnya justru menggerogotinya. Polri tumbuh dan berkembang bersama-sama dari rakyat Indonesia, tetapi kemudian menjadi pembunuh masyarakatnya sendiri (destroy the fabric of society).Mereka lupa bahwa pada akhirnya mereka akan turut terkubur juga bersama-sama dengan matinya 'pohon Indonesia' yang mereka cederai dan gerogoti selama ini.

Sejumlah pelanggaran hak asasi yang dilakukan, khususnya hak hidup dan hak atas keamanan diri pribadi, yang telah diatur di dalam UUD 1945; UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, serta Deklarasi Kuba tentang Prinsip-prinsip Penggunaan Senjata Api oleh Aparat.

Selain itu, aparat kepolisian juga telah mengabaikan dan melanggar prinsip yang dibuatnya sendiri, seperti Perkap Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen, Pengamanan dan Organisasi, Perusahaan dan atau Instansi/Lembaga Pemerintah; Protap 01/2010 tentang Simulasi Penanganan Unjuk Rasa Anarkis dan yang paling penting, Protap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Implementasi Tugas-tugas Polri.

Anggota DPR pun menyanyangkan cara Polri dalam menangani demo. "Harusnya prosedur dan ketetapan (Protap) Polri diubah," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo.Menurut Tjahjo, Polri seharusnya belajar dari pengalaman-pengalaman di masa lalu. Polri diimbau tidak menempatkan dirinya pada posisi yang secara politis dan fisik, berhadapan dengan rakyat menggunakan senjata.

"Cukup maksimal gas air mata dan tongkat serta barikade bila terjadi bentrok untuk membubarkan massa," katanya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy menilai pencegahan bentrok aparat dan warga harus dimulai dari masalah awalnya. Belakangan ini, bentrok warga dan aparat terjadi karena demonstrasi yang digelar warga yang protes terhadap izin eksplorasi Sumber Daya Alam (SDA).

Menurut Tjatur, masalah utamanya adalah kurang bijaksananya kepala daerah, dalam hal ini Bupati, dalam memberikan izin pengolahan Sumber Daya Alam kepada perusahaan.

"Yang pertama ya sekarang kan zaman otonomi daerah yang mengeluarkan izin kan Bupati. Ini momen penting buat seluruh Bupati di Indonesia untuk arif menertibkan izin SDA. mereka harus mendengarkan aspirasi rakyat dalam setiap pemberian izin maupun mengeluarkan izin yang sudah dikeluarkan, jangan sembarangan," kata Tjatur, Senin (26/12).

Menurut Tjatur dalam memberikan izin pengolahan SDA, termasuk izin tambang, harusnya Bupati memperhatikan kepentingan rakyat. Karena bagaimanapun SDA adalah milik negara yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat."Karena pada dasarnya SDA itu milik negara dan itu berarti milik rakyat. Sekarang ini sepertinya bupati itu berkuasa, itu tidak boleh begitu," ingatnya. [ms]



http://www.seruu.com/utama/hukum-a-k...ri-gagal-total




Comment : Tuntaskan akar masalah nya dulu pak, setuju nih ama comment dpr yang ini
"Menurut Tjatur, masalah utamanya adalah kurang bijaksananya kepala daerah, dalam hal ini Bupati, dalam memberikan izin pengolahan Sumber Daya Alam kepada perusahaan.

"Yang pertama ya sekarang kan zaman otonomi daerah yang mengeluarkan izin kan Bupati. Ini momen penting buat seluruh Bupati di Indonesia untuk arif menertibkan izin SDA. mereka harus mendengarkan aspirasi rakyat dalam setiap pemberian izin maupun mengeluarkan izin yang sudah dikeluarkan, jangan sembarangan," kata Tjatur, Senin (26/12).

Menurut Tjatur dalam memberikan izin pengolahan SDA, termasuk izin tambang, harusnya Bupati memperhatikan kepentingan rakyat. Karena bagaimanapun SDA adalah milik negara yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat."Karena pada dasarnya SDA itu milik negara dan itu berarti milik rakyat. Sekarang ini sepertinya bupati itu berkuasa, itu tidak boleh begitu," ingatnya."

AmierRuddin 26 Dec, 2011