Bisnis Ritel Raksasa Marak, Pedagang Tradisional Terjepit

[imagetag]

108CSR.com - Maraknya akuisisi peritel raksasa yang terus tumbuh di Indonesia, seperti halnya di Jakarta sangat mengancam kelangsungan pedagang tradisional atau pedagang kecil. Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa menjadi fenomena yang menjadi gunung es saat ini. Pasalnya, hal ini telah menyebabkan terjadi Persaingan bisnis yang tidak sehat antara pemodal besar dengan pemodal kecil yang umumnya tidak mengetahui seperti apa cara mendapatkan barang dengan harga terjangkau, pengetahuan berdagang yang memadai, melayani konsumen, soal pergudangan, dan sebagainya yang semuanya dimiliki oleh pemilik modal besar atau peritel ini. Ironisnya, problema ini seakan-akan tumbuh subur diperekonomian Indonesia, dan tanpa disadari maraknya ritel ini hingga kini telah menghilangkan perlahan-lahan kelangsungan para pedagang tradisional. Kini, keberadaan ritel tidak hanya diperkotaan tetapi sudah meluas dan menjangkau wilayah perdesaan.

Dari pantauan dilapangan, pertumbuhan bisnis ritel bisa dilihat dari mulai dari pusat perbelanjaan modern seperti Carrefour, Giant, Tiptop, Hypermart, Lotte Mart, hingga ritel toko seperti Alfamart, Indomart, Alfamidi, Minimarket, Cirkel K, Express, serta yang belakangan ini mulai menjamur di setiap simpangan jalan yaitu 7 Eleven dan Lawson Convenience Store dan Family Mart.

Bebasnya "aturan main" yang sangat menggiurkan di Indonesia tentunya menjadi ladang surga bagi pebisnis ritel asing untuk melebarkan sayapnya di Indonesia. Baru-baru ini para peritel asing juga turut meramaikan bisnis ini, seperti Lawson Convenience Store ritel papan atas di Negara Jepang itu mengibarkan benderanya di Indonesia dengan menggandeng PT Midi Utama Indonesia Tbk, sebagai pengelola Alfamidi. Padahal sebelumnya bisnis convenience store ini sudah menjamur seperti 7-Eleven hampir dapat ditemui di setiap penjuru kota Jakarta dengan 50 gerai.

Ibarat jamur di musim hujan, pertumbuhan bisnis ritel ini cenderung sangat cepat seperti Lawson Convenience Store ini yang datang dari Jepang dengan slogan 'One Stop For Your Quality Time' itu yang baru saja hadir sudah mempunyai 7 gerai di wilayah Jakarta diantaranya Kemang, Universitas Indonesia, Jalan H. Ashari, Jalan Pramuka, Jalan Lekjen Soeprapto, Jalan Mandala Tomang, dan Jalan Meruya Selatan. Bahkan dalam waktu dekat ini Wings Group juga akan memboyong ritel serupa yaitu Family Mart.

Namun demikian dengan kian masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan toko modern akhir-akhir ini secara umum fenomena penetrasi pemodal kuat dalam bisnis retail telah menyebabkan terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal di antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Bahkan ada juga yang terpaksa harus gulung tikar.

Hal itu bukan isapan jempol belaka. Sejumlah pedagang tradisional mengeluhkan keberadaan bisnis ritel yang terus tumbuh tersebut Seperti yang dituturkan para pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Carrefour hanya berada persis 20 meter di samping tempat mereka berdagang.

Tak pelak akibatnya dagangan mereka makin sepi sejak Carrefour hadir di sana. Ada pedagang yang pendapatannya berkurang sekitar 50 persen.

Selain itu, penyebab sepinya dagangan mereka adalah perbedaan harga yang cukup mencolok. Sebagai contoh apel sekilo di pasar Kebayoran Lama dijual Rp 16 ribu sedangkan di Carrefour hanya Rp 14 ribu. Akhirnya menyebabkan pembeli lari, karena disamping harga yang jauh lebih murah, tempatnya bersih, nyaman, dan ber AC.

Belum lagi keberadaan ritel lainnya seperti Alfamart, Alfamidi, Express, Indomaret, dan lain sebagainya sudah merambah hingga ke kawasan pemukiman. Ironisnya, dalam satu wilayah bisa ada tiga sampai empat gerai ritel tersebut. Mau tak mau, para pedagang kecil yang sudah lebih dahulu hadir di lokasi tersebut mengalami penurunan omset.

"Sejak kehadiran Alfamart di dekat warung saya ini sangat terasa dampaknya. Omset penjualan turun dratis sekitar 70 persen. Padahal, warung ini merupakan mata pencaharian kami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anak. Seharusnya pemerintah tidak seenaknya mengeluarkan ijin yang berdampak kepada ekonomi rakyat kecil," keluh Ny Suharti, salah satu pedagang sembako di Jalan Tipar Cakung, Jakarta Timur ini.

Hal itu juga dibenarkan oleh penelitian Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan yang bekerjasama dengan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) yang menghasilkan beberapa temuan penting terkait maraknya pertumbuhan bisnis ritel tersebut.

Keterangan
ilustrasi pedagang tradisonal atau pedagang kelontong(ist/doc)
Penelitian ini menemukan penurunan omset para pedagang tradisional atau pedagang kecil rata-rata sebesar 5,9 persen, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masing-masing mengalami penurunan sebesar 14,6 persen, 11 persen, dan 20,5 persen.

Penelitian ini juga menemukan bahwa pedagang pasar yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern.

Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. "Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34 persen, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18 persen, produk impor 3 persen, dan produk desa sebesar 45 persen," kata Awan Santosa, salah satu peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.

Apapun alasannya dengan maraknya pertumbuhan ritel tanpa adanya regulasi yang jelas dari pemerintah akan membuat pasar tradisional semakin terjepit dan mati perlahan-lahan. Tentunya, fenomena ini harus dengan segera di antisipasi pemerintah dalam menjalankan sistem perekonomian kerakyatan yang menjadi kesejahteraan seluruh rakyat di Indonesia. Dan sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan kepada para pedagang kecil. Apalagi, para pedagang itu selama ini menjadi penggerak roda ekonomi kerakyatan bagi masyarakat kecil. (jek/ard)

sumber

komen TS: harus ada inovasi yang baru nih, kalau engga ya perlahan tapi pasti bakal mati tergerus persaingan :D

ujungcakrawala 21 Dec, 2011