Aksi Tak Simpatik Pastilah Menuai Kritik

Pasca meninggalnya Sondang Hutagalung, pria yang tewas bakar diri di depan Istana Negara beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Kampus (Jarkam) kembali beraksi anarkis yang diklaim atas dasar solidaritas mengenang perjuangan mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) tersebut.
Kehadiran massa Jarkam di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (17/12/11), sempat diguyur hujan dan mengakibatkan kemacetan parah di Jalan Merdeka Utara. Aksi Jarkam, gabungan mahasiswa UBK, Benteng Demokrasi Rakyat/Bendera (simpatisan PDIP), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), STMIK, UKI, dll, memanfaatkan badan jalan dan telah mengakibatkan antrian kendaraan dari arah Gambir. Menjelang malam, pihak keamanan yang berjaga di sekitar lokasi akhirnya membubarkan aksi dengan alasan telah melampaui jadwal yang diizinkan. Polisi menahan 4 orang pengunjuk rasa yang dinilai anarkis, dan salah satu diantaranya ternyata membawa senjata tajam berupa gunting.

Sejak kematian Sondang Hutagalung, muncul polemik yang mempertanyakan motif perbuatan nekad tersebut. Bahkan, dalam menanggapi aksi solidaritas di Istana Negara sore tadi, Chrisbiantoro, Aktivis HAM dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan bahwa Kontras tidak akan mendukung aksi solidaritas apapun jika dilakukan secara anarkis. Seperti diketahui, Kontras merupakan tempat menimba ilmu bagi Sondang Hutagalung yang juga dikenal sebagai sosok anak muda yang santun dan penurut oleh para seniornya di Kontras. Yang mengherankan, Crisbiantoro bahkan menilai Sondang tidak memiliki sikap anarkis dan pemberontak ketika membantu aksi-aksi advokasi yang dilakukan oleh Kontras.

Sungguh aneh jika sosok anak muda seperti itu berubah total tatkala bergaul dengan teman-temannya sesama mahasiswa di kelompok Jarkam. Kelompok Jarkam inilah yang terus menerus memanfaatkan kematian Sondang untuk kepentingan politik tertentu, diantaranya dengan menyebutkan diri sebagai "Kelompok Sondang untuk Revolusi".

Menurut para senior Sondang di Kontras, dalam kurun 2 bulan sebelum kematiannya, Sondang tidak pernah lagi hadir di Kantor Kontras. Karena itu wajar jika banyak yang mengkhawatirkan kondisi Sondang selama menghilang tersebut.

Memanfaatkan kematian Sondang untuk kepentingan politik tertentu sungguh memalukan. Ironisnya, hal ini justru dilakukan oleh kelompok yang mengaku sebagai mahasiswa yang seharusnya berperilaku sebagai agen perubahan, jika memang benar untuk itu.

Sebelum kematian Sondang Hutagalung, kelompok mahasiswa Jarkam yang dimotori Adian Napitupulu dan Mustar Bona Ventura (Bendera), para manten Caleg dari PDIP, pernah mengkampanyekan aksi "revolusi tinja", yakni ide untuk melakukan aksi pelemparan kotoran ke arah gedung-gedung pemerintahan yang mereka anggap korup.

Banyak kalangan mahasiswa, terutama dari universitas-universitas besar seperti UGM, UI dan ITB mengecam rencana aksi tersebut. Aksi pelemparan tinja justru akan membenamkan harkat dan martabat mahasiswa sebagai agen perubahan yang selama ini selalu membela kepentingan rakyat tanpa pamrih. Sejumlah tokoh mahasiswa bahkan terbahak ketika menanggapi ide janggal tersebut, mereka balik bertanya kenapa tidak para aktivis Jarkam itu saja yang dilempari tinja.

Sekali lagi, tanpa mengesampingkan makna dari sebuah pengorbanan nyawa, alangkah lebih baik jika masyarakat tidak terkecoh oleh upaya-upaya yang ingin mengkultuskan dan memanfaatkan "pengorbanan heroik" seorang Sondang Hutagalung demi mencapai target target politik tertentu, katakanlah dalam rangka mendeskreditkan pemerintahan SBY-Boediono di mata rakyat.

Tidak semua unsur mahasiswa sependapat dengan tuntutan dari mahasiswa Jarkam. Di Bandung, aksi solidaritas Sondang Hutagalung bahkan tidak mendapatkan respon dari kalangan aktivis mahasiswa ITB, meskipun mereka didatangi oleh sejumlah aktivis kampus yang memaksa agar ITB turut serta dalam aksi.

Nurani masyarakat sesungguhnya akan menjawab hikmah dibalik peristiwa aksi bakar diri tersebut. Para orang tua tetap harus percaya bahwa anak-anak mereka akan lebih mencintai ibu dan keluarganya sendiri daripada sebatas ideologi hasil ekstraksi peradaban. Sesungguhnya jika politik tidak diperjuangkan dengan santun, akhirnya masyarakat lah yang akan menilai kembali. Oleh karena itu, rakyat berhak untuk tidak dijejali terus dengan lakon dagelan yang tidak edukatif, dan sampai kapanpun sangatlah penting untuk memproteksi keluarga ataupun dirinya dari upaya-upaya eksploitatif sesat.



Sumber

buletininfo.com

papipanda 19 Dec, 2011