BANDA ACEH, KOMPAS.com - Ada suasana berbeda di Masjid Kompleks Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar, pada pelaksanaan shalat Jumat (16/12/2011) lalu. Kecuali dipadati jamaah tetap yang umumnya anggota Polri dan staf SPN, terlihat puluhan remaja berbaju koko seragam, warna putih dan kuning.
Kehadiran mereka -karena dalam jumlah banyak dan semuanya berbaju koko- otomatis menjadi perhatian jamaah lainnya. Selidik punya selidik, ternyata mereka adalah anak punk yang sedang dibina Pemko Banda Aceh bersama Polda Aceh di SPN Seulawah, sekitar 60 kilometer dari Banda Aceh.
Mereka yang biasanya berpenampilan nyentrik, urakan dengan rambut gaya mohawk itu, kali ini semua mengenakan baju koko putih atau kuning. Menjadi bagian dari jamaah Jumat, mereka berbaur dengan puluhan personel polisi.
Mendadak, kesan kumal dalam penampilan mereka pun sirna. Tak tampak lagi sepatu boot, jaket kulit, rantai, serta tindik di sejumlah bagian tubuhnya, seperti hari-hari biasa penampilan mereka.
Dari mana datangnya sarung dan baju koko itu? "Kita yang bekali," kata Kepala SPN Seulawah, AKBP Indra Gautama.
Di antara 65 anak punk yang dijaring oleh tim gabungan Pemko Banda Aceh dibantu pihak kepolisian dan TNI, terdapat delapan orang pria yang nonmuslim. Selebihnya, termasuk enam wanita, merupakan muslim dan muslimah.
Nah, ke-51 anak-anak punk itulah yang ikut shalat Jumat berjamaah dengan para personel polisi. Potongan rambut polisi yang dididik di SPN Seulawah maupun anak-anak punk itu sama, yakni plontos. "Bedanya hanyalah kalau personel polisi mengenakan pakaian bebas, sedangkan anak-anak punk itu pakai koko warna putih atau kuning," kata Indra Gautama.
Ia juga bercerita kepada Serambi tentang program pembinaan anak-anak punk itu. Pertama kali tiba di SPN Seulawah, mereka diminta mengenal disiplin diri dengan cara berbaur bersama puluhan polisi serta puluhan bintara secapa yang lulus Sekolah Alih Golongan (SAG) dalam apel yang dilaksanakan Sabtu (10/12/2011) sore.
Selanjutnya, rambut mereka dirapikan. Pakaian kumal yang biasa mereka gunakan juga diminta untuk dibuka. "Barulah mereka kami minta untuk mandi sebelum mengenakan pakaian bersih yang telah dipersiapkan. Begitu masuk waktu Magrib, mereka kami minta melaksanakan shalat berjamaah. Tentu saja delapan orang remaja nonmuslim itu tidak ikut shalat," terang Indra.
Malamnya, acara penggemblengan dilanjutkan dengan makan bersama. Tahap berikutnya baru diawali dengan pemberian materi agama, mengenal kebersihan diri, serta bagaimana mewujudkan diri menjadi pribadi yang baik.
"Kami ingin mereka kembali ke kehidupan normal. Jadi, kami minta semua masyarakat, termasuk orang tua anak-anak punk itu, memakluminya. Mereka kami didik di SPN juga sama sekali tidak ada kekerasan. Malah setiap harinya, mereka diajak berlatih olahraga, outbond, dan penempahan diri mereka dengan materi-materi agama dan banyak hal positif lainnya," tegas Indra Gautama.
Sumber
--------------------------------------------------------------------------
Komentar TS,
ini lebih baik dari pada dana APBD cuma untuk jalan-jalan dan plesiran apa lagi untuk memperkaya segelintir orang, kelemahan bangsa ini terletak pada pemuda-pemuda nya yang tak berpola seperti pemuda tapi hanya ikut-ikutan budaya bangsa luar tanpa ditelaah lebih dalam lagi. PUNK itu ideologi bukan budaya urak-urakan, PUNK itu adalah BERDIKARI (Berdiri Dikaki Sendiri)
0Awesome Comments!