MAASTRICHT. Euro mengalami masa jaya setelah peluncurannya di 1999. Uni Eropa menggadang-gadang mata uang ini mampu menciptakan perekonomian Benua Biru yang lebih perkasa di mata dunia.
Sebenarnya, siapa penggagas mata uang tunggal euro? mari kita bernostalgia, salah satu negara yang memiliki ide integrasi ini adalah Belanda. Awal 1990-an, wacana penyatuan mata uang gencar di bicarakan.
Integrasi pasar Eropa diusulkan oleh Belanda yang merupakan negara paling berpengaruh dengan mengusung ekonomi terbuka dan berbasis pada sistem perdagangan bebas. Dengan ukuran dua kali lipat dari New Jersey, negara tersebut menempati urutan ke 16 negara terbesar di dunia. Secara fiskal, Negeri Kompeni ini lebih sehat dibanding Jerman.
Bahkan, karena sangat dipandang, Belanda telah menyumbang presiden pertama European Central Bank (ECB). Willem Frederik "Wim" Duisenberg, mengawal kinerja Bank Sentral Eropa sejak 1 Juli 1998 hingga 31 Oktober 2003.
Sebelum ada kesepakatan penyatuan mata uang, sebenarnya dua perang ekonomi besar terjadi di Eropa. Perseteruan, memecah batas politik dan ekonomi Pasca Perang Dunia II. Eropa mengalami depresi yang disebabkan oleh penerapan kebijakan dagang proteksionis. Carut-marut makin menjadi saat Amerika Serikat (AS) terus mendesak hubungan ekonomi dua kawasan dipererat sebagai langkah percepatan rekonstruksi untuk menghadapi penyebaran paham komunisme dari Uni Soviet. Melalui perdebatan sengit antara pro-kontra, akhirnya euro digunakan oleh banyak negara.
Optimisme euro memudar
Kenyataannya, sejak 17 anggota Uni Eropa dihantam krisis keuangan, ketenaran euro makin meredup. Sikap skeptisisme kembali menyeruak seperti saat euro akan diluncurkan. Beberapa ekonom dan akademisi yang sejak awal menentang penyatuan mata uang kembali berkomentar.
"Sudah saya memprediksi, di tahun 2010 euro pasti akan jatuh," ujar Klamer yang mengajar di Universitas Erasmus, Rotterdam. Klamer yang sekaligus seorang ekonom terus mengamati perkembangan euro. Menurutnya, penyatuan mata uang tanpa ada penyatuan politik menjadi hal yang sangat berbahaya bagi kawasan.
"Serikat moneter tanpa persekutuan politik tidak mungkin bisa dipertahankan," tulisnya dalam sebuah artikel koran pada 1991. Ia pun langsung dihajar oleh pendapat publik yang menyatakannya sebagai seorang "idiot". Sejatinya, beberapa ekonom Belanda lainnya saat itu juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Karena tak punya kuasa, penggunaan euro-pun tak terelakkan.
Sekarang, kekacauan finansial secara perlahan membuka bobrok kesatuan moneter Uni Eropa. Krisis membelah dukungan konsep mata uang tunggal. Perubahan traktat Uni Eropa menjadi isu panas yang dibahas akhir tahun 2011. Beberapa negara mulai mempertimbangkan hengkang dari euro, salah satunya adalah Yunani yang berencana menggelar referendum meski gagal.
Penilaian pahit terhadap euro malah dilontarkan oleh pencetusnya yaitu mantan Menteri Keuangan Belanda, Hans Hoogervorst. "Euro adalah proyek gagal," ujarnya.
Survei yang dilakukan Uni Eropa pada 2009 di saat bibit krisis mulai tumbuh merekam, dukungan publik Negeri Kincir Angin untuk menggunakan euro tetap tinggi yaitu 80%. Ironisnya jajak pendapat terbaru justru menunjukkan, mayoritas penduduk Belanda kini berbalik 180 derajat dan lebih memilih hengkang dari mata uang kebanggaan, euro.
Kenyataan pahit ini mengindikasikan bahwa negara Eropa yang secara tradisional mendukung penuh euro saat ini malah bersikap sebaliknya. Itulah mengapa krisis zona euro sangat sistemik dan sulit teratasi.
sumber: http://internasional.kontan.co.id/v2...-penggagasnya-
JoseCapricio 24 Dec, 2011Sebenarnya, siapa penggagas mata uang tunggal euro? mari kita bernostalgia, salah satu negara yang memiliki ide integrasi ini adalah Belanda. Awal 1990-an, wacana penyatuan mata uang gencar di bicarakan.
Integrasi pasar Eropa diusulkan oleh Belanda yang merupakan negara paling berpengaruh dengan mengusung ekonomi terbuka dan berbasis pada sistem perdagangan bebas. Dengan ukuran dua kali lipat dari New Jersey, negara tersebut menempati urutan ke 16 negara terbesar di dunia. Secara fiskal, Negeri Kompeni ini lebih sehat dibanding Jerman.
Bahkan, karena sangat dipandang, Belanda telah menyumbang presiden pertama European Central Bank (ECB). Willem Frederik "Wim" Duisenberg, mengawal kinerja Bank Sentral Eropa sejak 1 Juli 1998 hingga 31 Oktober 2003.
Sebelum ada kesepakatan penyatuan mata uang, sebenarnya dua perang ekonomi besar terjadi di Eropa. Perseteruan, memecah batas politik dan ekonomi Pasca Perang Dunia II. Eropa mengalami depresi yang disebabkan oleh penerapan kebijakan dagang proteksionis. Carut-marut makin menjadi saat Amerika Serikat (AS) terus mendesak hubungan ekonomi dua kawasan dipererat sebagai langkah percepatan rekonstruksi untuk menghadapi penyebaran paham komunisme dari Uni Soviet. Melalui perdebatan sengit antara pro-kontra, akhirnya euro digunakan oleh banyak negara.
Optimisme euro memudar
Kenyataannya, sejak 17 anggota Uni Eropa dihantam krisis keuangan, ketenaran euro makin meredup. Sikap skeptisisme kembali menyeruak seperti saat euro akan diluncurkan. Beberapa ekonom dan akademisi yang sejak awal menentang penyatuan mata uang kembali berkomentar.
"Sudah saya memprediksi, di tahun 2010 euro pasti akan jatuh," ujar Klamer yang mengajar di Universitas Erasmus, Rotterdam. Klamer yang sekaligus seorang ekonom terus mengamati perkembangan euro. Menurutnya, penyatuan mata uang tanpa ada penyatuan politik menjadi hal yang sangat berbahaya bagi kawasan.
"Serikat moneter tanpa persekutuan politik tidak mungkin bisa dipertahankan," tulisnya dalam sebuah artikel koran pada 1991. Ia pun langsung dihajar oleh pendapat publik yang menyatakannya sebagai seorang "idiot". Sejatinya, beberapa ekonom Belanda lainnya saat itu juga menyuarakan kekhawatiran yang sama. Karena tak punya kuasa, penggunaan euro-pun tak terelakkan.
Sekarang, kekacauan finansial secara perlahan membuka bobrok kesatuan moneter Uni Eropa. Krisis membelah dukungan konsep mata uang tunggal. Perubahan traktat Uni Eropa menjadi isu panas yang dibahas akhir tahun 2011. Beberapa negara mulai mempertimbangkan hengkang dari euro, salah satunya adalah Yunani yang berencana menggelar referendum meski gagal.
Penilaian pahit terhadap euro malah dilontarkan oleh pencetusnya yaitu mantan Menteri Keuangan Belanda, Hans Hoogervorst. "Euro adalah proyek gagal," ujarnya.
Survei yang dilakukan Uni Eropa pada 2009 di saat bibit krisis mulai tumbuh merekam, dukungan publik Negeri Kincir Angin untuk menggunakan euro tetap tinggi yaitu 80%. Ironisnya jajak pendapat terbaru justru menunjukkan, mayoritas penduduk Belanda kini berbalik 180 derajat dan lebih memilih hengkang dari mata uang kebanggaan, euro.
Kenyataan pahit ini mengindikasikan bahwa negara Eropa yang secara tradisional mendukung penuh euro saat ini malah bersikap sebaliknya. Itulah mengapa krisis zona euro sangat sistemik dan sulit teratasi.
sumber: http://internasional.kontan.co.id/v2...-penggagasnya-
0Awesome Comments!