108CSR.com - Terkait maraknya isu diskriminasi kepada pekerja sebagai penderita Aids di perusahaan-perusahaan yang ada di Jakarta, akhirnya disertai dengan adanya aturan khusus wajib menerima calon pekerja walau positif menderita HIV/AIDS dengan disertai ancaman denda Rp500 juta bagi perusahaan yang menolak penderita HIV/AIDS untuk bekerja.
Sebetulnya, bagaimana mengetahui seseorang itu adalah penderita HIV/ADIS ? sedangkan pada kenyataannya banyak perusahaan kesulitan untuk mengetahui pekerjanya mengidap HIV/AIDS selama ini. Selain data-data pekerja penderita HIV/Aids yang dilindungi kerahasiaannya oleh hukum sesuai dengan kaidah ILO. Pekerja biasanya akan merasa malu untuk mengakui dan menginformasikan ke perusahaan bahwa mereka mengidap HIV/AIDS.
Menurut perwakilan APINDO Yogyakarta, Hermanto Joko Wahyono, saat acara talkshow belum lama ini mengatakan pada prinsipnya perusahaan tidak ada yang mendiskriminasikan penderita Aids, malahan itu dilindungi, berdasarkan keputusan Menteri Nomor 68 Tahun 2004 yang secara jelas menyatakan bahwa perusahaan wajib melakukan pencegahan HIV/AIDS. Namun pada kenyataannya, perusahaanlah yang biasanya akan mengalami kesulitan untuk mengetahui pekerjanya mengidap HIV/AIDS.
"Apabila perusahaan mengetahui ada pekerjanya yang mengidap HIV/AIDS, maka perusahaan wajib memberikan perlindungan agar mereka tetap bisa bekerja," katanya. "Perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang menderita HIV/AIDS." ungkapnya.
Tetapi mungkin berbeda halnya, dengan kasus yang disikapi penderita HIV/AIDS di Flores Timur, DPRD Flores Timur telah menetapkan peraturan daerah (perda) tentang HIV/AIDS, yang mewajibkan warga melakukan pemeriksaan medis sehingga penderita bisa terdeteksi sedari dini. Melalui perda tersebut, ditegaskan bahwa masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan administrasi kependudukan, seperti pengurusan KTP, akta, dan surat kelakuan baik, terdahulunya dilakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Tes HIV/AIDS ini juga dilakukan pada saat para pencari kerja mengikuti seleksi menjadi CPNSD.
Selanjutnya bagaimana dengan denda Rp500 juta?
ilustrasi program karyawan pencegahan dan pembinaan penularan HIV/AIDS (ist/doc) Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Deded Sukandar di Jakarta bagi perusahaan yang menolak kelompok masyarakat itu akan dikenakan sanksi berupa denda senilai Rp500 juta. "Walau positif menderita HIV/AIDS tapi masih mampu bekerja dan memenuhi persyaratan perusahaan, baik syarat administrasi maupun keterampilan sesuai kebutuhan, tentu diterima karena ada aturan hukumnya," ungkap Deded.
Dengan adanya aturan itu, jelasnya, menjadi bukti konsistensi Pemprov DKI terhadap persamaan hak warganya. Tidak terkecuali hak mendapat pekerjaan yang layak bagi penderita HIV/AIDS yang menjadi warga Jakarta.
"Tidak ada alasan bagi perusahaan menolak pelaku usaha mempekerjakan penderita HIV/AIDS. Selama mereka memenuhi persyaratan, perusahaan wajib untuk menerima," ujar Deded.
Sementara itu sama halnya dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Samarinda Mugni Baharudin kepada wartawan belum lama ini yang mengakui bahwa kasus HIV AIDS di Samarinda telah mengancam profitabilitas dan produktivitas dunia usaha serta kesehatan tenaga kerja maupun masyarakat luas.Pasalnya, dari 651 kasus HIV AIDS, di Samarinda, 60 persen diantaranya berprofesi sebagai pekerja swasta. Lebih dari 80 persen pengidap HIV/AIDS berada pada usia produktif.
"Bukan tidak mungkin, ke depan kita akan kehilangan tenaga kerja usia produktif. Apabila ada pekerja yang mengidap HIV/AIDS, saya minta jangan dikucilkan dan tidak di PHK karena penularannya tidak melalui sentuhan fisik. Pencegahan HIV/AIDS bisa melalui kegiatan keagamaan dan kampanye perubahan perilaku," kata Mugni.
Samarinda merupakan kota jasa, industri, perdagangan dan pemukiman. Beberapa tempat kerja berada dalam lingkungan yang mempertinggi resiko infeksi HIV, misalkan sektor pertambangan yang mempekerjakan kaum laki-laki yang jauh dari keluarga, atau pekerja angkutan yang jauh dari rumah dan jasa hiburan yang marak di Samarinda.
Pemicu penularan HIV di Indonesia, antara lain pria membeli seks yang mencapai angka 3,1 orang dari total penduduk Indonesia 240 juta jiwa, menikah dengan pria resiko tinggi 1,6 juta jiwa, wanita pekerja seks 230 ribu, Gay dan Waria 800 ribu, pengguna narkoba dengan jarum suntik 230 ribu.
Kaltim sendiri berada pada peringkat ke-9 dari 33 provinsi di tanah air. Di Kaltim, pengidap HIV berjumlah 1.725 orang, AIDS 411 orang dan menunggal dunia 147 orang. Cara penularannya bisa melalui hubungan seks, pergantian alat suntik, penularan ibu ke anak, seks oral dan tato.
Sebagai pembanding, sepanjang 2010 kasus baru HIV adalah 1.433 HIV dan 1.310 AIDS dengan angka kematian 280. Sedangkan angka kumulatif di DKI Jakarta sejak HIV dan AIDS ditemukan tahun 1987 hingga Juni 2011 adalah 4.957 HIV dan 4.827 AIDS.
Jika dilihat dari jumlah terinfeksi HIV dan yang sudah AIDS menurut pekerjaanya pada 2011, hingga Juni, tenaga non profesional atau karyawan menempati urutan tertinggi yaitu 283 orang (199 HIV dan 84 AIDS), ibu rumah tangga 147 (102 HIV dan 45 AIDS), wiraswasta atau usaha sendiri 139 (82 HIV dan 57 AIDS), narapidana 48 (4 HIV dan 44 AIDS), buruh kasar 32 (14 HIV dan 18 AIDS), serta tenaga profesional non medis 29 (5 HIV dan 24 AIDS).
Jumlah penderita HIV dan AIDS menurut faktor risiko tertinggi oleh heteroseksual (651 orang), diikuti pengguna narkoba suntik (431 orang), serta biseksual (39 orang).
Data terakhir Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kementerian Kesehatan RI, menyebut hingga Juni 2011 secara kumulatif jumlah kasus AIDS berdasarkan provinsi DKI Jakarta menempati posisi pertama, kedua Papua, dan ketiga Jawa Barat.
Sementara berdasarkan prevalensi kasus AIDS per 100 ribu penduduk berdasarkan provinsi, DKI Jakarta menempati posisi ke keempat setelah Papua (pertama), Jawa Barat (kedua), dan Bali (ketiga). (ard/int)
SUMBER
Bagus lah.. Semoga mereka dapat tetap merasakan kehidupan...
nomersatu 19 Dec, 2011Sebetulnya, bagaimana mengetahui seseorang itu adalah penderita HIV/ADIS ? sedangkan pada kenyataannya banyak perusahaan kesulitan untuk mengetahui pekerjanya mengidap HIV/AIDS selama ini. Selain data-data pekerja penderita HIV/Aids yang dilindungi kerahasiaannya oleh hukum sesuai dengan kaidah ILO. Pekerja biasanya akan merasa malu untuk mengakui dan menginformasikan ke perusahaan bahwa mereka mengidap HIV/AIDS.
Menurut perwakilan APINDO Yogyakarta, Hermanto Joko Wahyono, saat acara talkshow belum lama ini mengatakan pada prinsipnya perusahaan tidak ada yang mendiskriminasikan penderita Aids, malahan itu dilindungi, berdasarkan keputusan Menteri Nomor 68 Tahun 2004 yang secara jelas menyatakan bahwa perusahaan wajib melakukan pencegahan HIV/AIDS. Namun pada kenyataannya, perusahaanlah yang biasanya akan mengalami kesulitan untuk mengetahui pekerjanya mengidap HIV/AIDS.
"Apabila perusahaan mengetahui ada pekerjanya yang mengidap HIV/AIDS, maka perusahaan wajib memberikan perlindungan agar mereka tetap bisa bekerja," katanya. "Perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap karyawan yang menderita HIV/AIDS." ungkapnya.
Tetapi mungkin berbeda halnya, dengan kasus yang disikapi penderita HIV/AIDS di Flores Timur, DPRD Flores Timur telah menetapkan peraturan daerah (perda) tentang HIV/AIDS, yang mewajibkan warga melakukan pemeriksaan medis sehingga penderita bisa terdeteksi sedari dini. Melalui perda tersebut, ditegaskan bahwa masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan administrasi kependudukan, seperti pengurusan KTP, akta, dan surat kelakuan baik, terdahulunya dilakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Tes HIV/AIDS ini juga dilakukan pada saat para pencari kerja mengikuti seleksi menjadi CPNSD.
Selanjutnya bagaimana dengan denda Rp500 juta?
ilustrasi program karyawan pencegahan dan pembinaan penularan HIV/AIDS (ist/doc) Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Deded Sukandar di Jakarta bagi perusahaan yang menolak kelompok masyarakat itu akan dikenakan sanksi berupa denda senilai Rp500 juta. "Walau positif menderita HIV/AIDS tapi masih mampu bekerja dan memenuhi persyaratan perusahaan, baik syarat administrasi maupun keterampilan sesuai kebutuhan, tentu diterima karena ada aturan hukumnya," ungkap Deded.
Dengan adanya aturan itu, jelasnya, menjadi bukti konsistensi Pemprov DKI terhadap persamaan hak warganya. Tidak terkecuali hak mendapat pekerjaan yang layak bagi penderita HIV/AIDS yang menjadi warga Jakarta.
"Tidak ada alasan bagi perusahaan menolak pelaku usaha mempekerjakan penderita HIV/AIDS. Selama mereka memenuhi persyaratan, perusahaan wajib untuk menerima," ujar Deded.
Sementara itu sama halnya dengan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Samarinda Mugni Baharudin kepada wartawan belum lama ini yang mengakui bahwa kasus HIV AIDS di Samarinda telah mengancam profitabilitas dan produktivitas dunia usaha serta kesehatan tenaga kerja maupun masyarakat luas.Pasalnya, dari 651 kasus HIV AIDS, di Samarinda, 60 persen diantaranya berprofesi sebagai pekerja swasta. Lebih dari 80 persen pengidap HIV/AIDS berada pada usia produktif.
"Bukan tidak mungkin, ke depan kita akan kehilangan tenaga kerja usia produktif. Apabila ada pekerja yang mengidap HIV/AIDS, saya minta jangan dikucilkan dan tidak di PHK karena penularannya tidak melalui sentuhan fisik. Pencegahan HIV/AIDS bisa melalui kegiatan keagamaan dan kampanye perubahan perilaku," kata Mugni.
Samarinda merupakan kota jasa, industri, perdagangan dan pemukiman. Beberapa tempat kerja berada dalam lingkungan yang mempertinggi resiko infeksi HIV, misalkan sektor pertambangan yang mempekerjakan kaum laki-laki yang jauh dari keluarga, atau pekerja angkutan yang jauh dari rumah dan jasa hiburan yang marak di Samarinda.
Pemicu penularan HIV di Indonesia, antara lain pria membeli seks yang mencapai angka 3,1 orang dari total penduduk Indonesia 240 juta jiwa, menikah dengan pria resiko tinggi 1,6 juta jiwa, wanita pekerja seks 230 ribu, Gay dan Waria 800 ribu, pengguna narkoba dengan jarum suntik 230 ribu.
Kaltim sendiri berada pada peringkat ke-9 dari 33 provinsi di tanah air. Di Kaltim, pengidap HIV berjumlah 1.725 orang, AIDS 411 orang dan menunggal dunia 147 orang. Cara penularannya bisa melalui hubungan seks, pergantian alat suntik, penularan ibu ke anak, seks oral dan tato.
Sebagai pembanding, sepanjang 2010 kasus baru HIV adalah 1.433 HIV dan 1.310 AIDS dengan angka kematian 280. Sedangkan angka kumulatif di DKI Jakarta sejak HIV dan AIDS ditemukan tahun 1987 hingga Juni 2011 adalah 4.957 HIV dan 4.827 AIDS.
Jika dilihat dari jumlah terinfeksi HIV dan yang sudah AIDS menurut pekerjaanya pada 2011, hingga Juni, tenaga non profesional atau karyawan menempati urutan tertinggi yaitu 283 orang (199 HIV dan 84 AIDS), ibu rumah tangga 147 (102 HIV dan 45 AIDS), wiraswasta atau usaha sendiri 139 (82 HIV dan 57 AIDS), narapidana 48 (4 HIV dan 44 AIDS), buruh kasar 32 (14 HIV dan 18 AIDS), serta tenaga profesional non medis 29 (5 HIV dan 24 AIDS).
Jumlah penderita HIV dan AIDS menurut faktor risiko tertinggi oleh heteroseksual (651 orang), diikuti pengguna narkoba suntik (431 orang), serta biseksual (39 orang).
Data terakhir Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kementerian Kesehatan RI, menyebut hingga Juni 2011 secara kumulatif jumlah kasus AIDS berdasarkan provinsi DKI Jakarta menempati posisi pertama, kedua Papua, dan ketiga Jawa Barat.
Sementara berdasarkan prevalensi kasus AIDS per 100 ribu penduduk berdasarkan provinsi, DKI Jakarta menempati posisi ke keempat setelah Papua (pertama), Jawa Barat (kedua), dan Bali (ketiga). (ard/int)
SUMBER
Bagus lah.. Semoga mereka dapat tetap merasakan kehidupan...
0Awesome Comments!