Quote:
Presiden Rusia, Andre Medvedev bersama Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meninggalnya Kim Jong Il Pemimpin rakyat Korea Utara pada hari Sabtu, 17 Desember yang lalu, dan baru diumumkan secara resmi pada hari ini, seakan bukan berita besar, terutama bagi kalangan birokrasi di negeri ini. Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy, mengungkap sejarah hubungan Indonesia dengan negara komunis, Korea Utara seakan mengikuti dingin panasnya, atau intim-renggangnya hubungan Indonesia dengan RRC. Korut sendiri sejak berakhirnya bulan madu RRC dengan Amerika Serikat, pada Juni 2005, mengambil posisi sebagai musuh Barat. "Posisinya ini konsisten dengan latar belakang perang Korea. Walaupun Korsel berkiblat ke Barat, khususnya ke AS, tapi catatan pentingnya adalah, mereka baik Korut maupun Korsel memiliki dan menjaga rasa kebangsaan yang tinggi," ujarnya, Senin (19/12/2011). Sejak Indonesia berkiblat ke Amerika, Noorsy menjelaskan, tentu saja Korut seakan meninggalkan Indonesia. Seperti kebanyakan pandangan negara anggota gerakan Non Blok, Korut berpandangan bahwa secara esensial Indonesia sudah meninggalkan komitmen Dasa Warsa Bandung. Saat bulan madu RRC-AS berakhir, Korut justru menunjukkan bahwa AS tidak mungkin dipercaya sebagai satu-satunya negara penjaga perdamaian dunia. Seperti perang RRC lawan AS dalam perspektif state capitalism lawan corporate capitalism. "Korut pun memerangi dominasi sistem kapitalisme berbasis individual. Karena itu hubungan Indonesia Korut menjadi berjarak. Pascakematian Kim Jong Il, tentu akan sangat tergantung pada hal-hal tersebut di atas: kondisi internal Korut, hubungan Korut dengan RRC dan hubungan segitiga Korut-RRC-USA, dan hubungan RRC-AS-Indonesia. Jika Indonesia konsisten menerapkan politik bebas aktifnya, dan teraplikasi dalam ekonomi politik bebas aktifnya, Indonesia bisa kembali membangun keseimbangan hubungan itu," papar Noorsy. Sayangnya, katanya lagi, karena kentalnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat, maka Korut akan tetap mengambil jarak dengan Indonesia di tengah sebagian besar negara anggota Non Blok sebenarnya sedang memicingkan mata memandang Indonesia. "Bagi birokrat, teknokrat dan sebagian besar politisi Indonesia termasuk sebagian besar masyarakat Indonesia, komunisme adalah sejarah hitam. Karena itu mengambil jarak dengan Korut bisa dipandang sebagai konsekuensi dari sejarah hitam itu. Padahal sejarah hitam itu terbentuk justru karena peranan besar AS," demikian Ichsanuddin Noorsy. Sumber |
0Awesome Comments!